Wednesday, July 25, 2007

Memberi.. atau menambah 'nilai' ?

Seorang teman berpendapat
kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup.
Ia bertanya, Punya uang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, "berapa sisa uang kita?"
Jawabnya "Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga."
Ia menjelaskan "Habis jika kita masih memakai logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran doa keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC."
Ada beberapa hal yang juga hendak saya ceritakan. Alasan saya bersedekah, tidak bersedekah [atau apalah namanya] dan hal-hal yang berhubungan dengannya...

Saya jarang sekali memberi pengamen uang. Jika saya memberi, alasan-alasannya adalah: [1] suaranya enak didengar, dan performance-nya menarik [2] jika tidak diberi, pengamen tersebut teriak-teriak dan mengamuk [3] saya memang ingin memberi. Saya punya warung, banyak sekali pengemis dan pengamen yang datang. Yang saya beri adalah pengamen yang memang ingin saya beri, misal: ada 2 orang pengamen yang benar-benar dapat menghasilkan musik yang indah dari seruling dan harmonikanya. Lalu, ada juga pengamen yang kebetulan waria, dan jika datang ber-banyak, lebih dari 3. Jika tidak diberi mereka selalu teriak-teriak dan memaki. Demi tetap terciptanya suasana yang adem ayem di warung, maka saya memilih memberi mereka [atau jika pelanggan sudah ada yang memberi ya saya tidak memberi lagi]. Itupun saya tidak selalu memberi mereka. Cara mereka memaki-maki sudah membuat saya tidak respect terhadap mereka. Satu lagi, ada 2 anak kecil yang suka ngamen di warung. yang pertama namanya Maliq, Maliq ini nakal sekali, suka memukul dan kurang ajar. Yang kedua bernama Andre, ramah, sopan, pintar dan menyenangkan. Dia malah lebih sering datang ke angkringan untuk mendengarkan kami-kami bercerita [Andre paling suka bahasan ilmu pengetahuan] daripada dia ngamen [dia sendiri yang bilang begitu]. Namun lucu sekali, bila dia memang ingin ngamen, maka dia akan bernyanyi dengan sungguh-sungguh bak penyanyi band, dan harunya, kalo ngambil jajanan di tempat saya.. dia selalu mbayar. Saya lebih suka memberi Andre ini buku, karena memang dia suka sekali membaca. Dan untuk Maliq, saya pernah memberi dia roti serta sebuah gelang [hand made], saya bilang gelang itu tanda pertemanan kami, karena kami sudah berteman maka saya minta dia untuk tidak nakal apalagi mengganggu tamu2 saya. Berhasil!!! sampai sekarang tidak pernah lagi Maliq ini rewel di warung saya.. It seems to me, lebih dalem ketika dia menerima gelang tanda pertemanan dari saya daripada uang-uang yang pernah saya berikan. Well tapi itu semua tidaklah terlalu saklek, saya ya pernah juga memberi pengemis karena kasihan. Untuk para pengemis, saya cenderung untuk tidak memberi, kecuali saya yakin benar mereka cacat, lumpuh dan benar-benar tidak mampu beraktifitas apapun. Saya masih punya pemikiran, mereka yang tidak cacat itu masih bisa koq bekerja, menjadi buruh, pembantu, tukang dan sebagainya.

Kebetulan, saya tidak memegang prinsip pahala atau apapun itu namanya. Bukan berarti saya tidak menghormati orang-orang yang berprinsip tersebut. Memang benar, yang dikatakan seorang teman, bahwa gaji berapapun tidak akan cukup. Itu wajar, karena setiap orang selalu punya mimpi dan keinginan yang lebih setiap harinya. Buat saya, mimpi dan keinginan saya tersebut menjadi salah satu pemacu saya untuk bekerja . Saya pernah kerja lembur, karena dengan kerja lembur tersebut saya mendapatkan tambahan, dan tambhan tersebut bisa saya bawa sebagai sangu ketika saya melakukan penelitian di Jakarta. Nah itu, seperti begitu itu contohnya. Mungkin untuk beberapa orang hitungan logika antara gaji dan pengeluaran saya tersebut tidak bijak. Tapi sungguh, ketika saya memang sedang defisit, saya cenderung menyimpan uang sisa gaji saya untuk jaga-jaga ataupun ya untuk hidup selanjutnya, daripada saya berikan ke pengemis [pengemis dan pengamen yang common], meskipun dalam keadaan tertentu mungkin jg saya memberikan uang ke orang lain. Dan ini bukan karena saya sombong atau apa. Memang otak saya belum bisa atau tidak akan bisa berpikir bahwa memberi ke pengemis tersebut akan lebih baik drpada menyimpan sisa uang gaji saya misalnya. Untuk hal yang satu ini, begitulah cara saya berpikir.

However, saya pernah memberi uang teman saya yang benar-benar sedang kesusahan, dengan dasar pemikiran... 'Saya ini perantara yang dipakai Tuhan untuk menolong si A [teman saya].' Bukan dengan pemikiran jika saya menolong dia, maka berkah buat saya akan semakin banyak. Jika saya sedang berkecukupan ataupun berlebih, dan saya ingin memberi ke orang lain, itu karena memang saya ingin memberi, orang tersebut butuh pertolongan dan saya merupkan perantara berkat Tuhan buat mereka-mereka yang telah saya beri. Ibaratnya, saya sebagai saluran berkat begitulah. Frankly, saya ingin menjadi orang yang mapan, punya kebebasan finansial dan syukur2 kaya []. Dengan itu semua, saya bisa punya power, kedudukan dan dengan ini juga saya mampu membka lapangan pekerjaan, lembaga pendidikan [dengan biaya yang tidak mahal], pokoqnya membuat apa sajalah yang berguna untuk orang lain [terutama lower class society]. Teman saya pernah bilang, congkak banget sih saya ini, punya keinginan koq untuk menjadi kaya. Waktu itu saya cuma tertawa, dengan tetap masih becanda, 'namanya juga keinginan, khan bebas saja'. But its true, saya benar-benar ingin hidup saya semakin ke depan semakin mapan, supaya saya bisa membuka lapangan pekerjaan lain lagi [selain warung saya, yg pegawainya masih 2] hehe..

well, cerita lain lagi.. Kebetulan saya ini tipe yang rapi, suka bersih-bersih dan teratur [saya semakin yakin akan karakter ini karena makin banyak pula yang bilang], dan saya tidak terlalu suka menyimpan barang-barang bekas, yang sudah tidak terpakai. Pokoqnya kalo sudah rusak dan rasanya tidak akan bermanfaat banyak, dibuang saja dech. Saya punya asisten di rumah, hahaha, asisten saya yang tidak lain adalah mbak yang bekerja di rumah saya, Dia sudah hafal sekarang, dan hampir seperti saya, suka bersih-bersih juga, dan sudah pintar pula dia memilih mana yang harus dibuang dan mana yang tidak [meskipun kadang masih bertanya]. Contoh-contoh barang yang akan saya 'hengkangkan': koran bekas, majalah, kardus, blender, aduh pokoqnya masih banyak lagi dech. Nah ada beberapa cara saya 'memusnahkan' barang tersebut. Kalo koran dan majalah, maka akan diambil tetangga saya dekat rumah, dan kemudian akan dijualnya. Saya pernah jga tuh dulu menjual koran dan majalah bekas, tapi setelah saya pikir, mendingan dijual tetangga saya itu saja dan uangnya bisa dipakai mereka. Kardus akan dikemas menjadi lembaran-lembaran, ini juga sudah akan ada yang mengambil, para pemulung yang 'langganan' di tempat saya. Oh iya begitu juga dengan botol. ehmh apa lagi yah, sebenernya baju dan sepatu juga demikian, kalo lemari dan rak baju serta sepatu-sandal sdh penuh, juga langsung saya pilih dan saya hibahkan, bisa ke mbak asisten saya itu, ke tetangga, ke mantan orang yg pernah kerja di rumah, ke siapa aja dech, bisa juga ke temen n sepupu jika mereka menginginkannya. Suami saya dulu awalnya juga keheranan dengan 'habit' saya yang ini, 'koq iso yo', katanya begitu..Saya tidak tahu yah, cerita yg terakhir tentang saya ini dikategorikan sebagai apa.. Tapi yah begitulah saya dengan salah satu habit saya, dan begitulah cara saya 'mencintai dan berbagi' dengan sesama.. bad or good... i just dunno [from others side], but to me, that's just the way I love them.

Wednesday, June 20, 2007

Ibn Arabi said;

Tuhan, Yang Maha Berada dan Maha Berkuasa,
tidak bisa dibatasi dengan keyakinan apa pun, sebab Tuhan berfirman, 
‘Ke mana pun engkau memalingkan pandanganmu, maka di sanalah ada wajah Allah’.
Semua orang akan memakai kepercayaannya. Tuhannya adalah apa yang diciptakannya sendiri”.

Dengan seperti itu, hati Ibn Arabi menjadi
“Bisa menerima berbagai bentuk (citra), 
Biara bagi sang rahib, 
Kuil bagi arca-arca, 
Padang rumput bagi rusa-rusa, 
peziarah bagi Ka’bah, 
Lembaran Taurat dan Al-Quran”.
(Muhyidin bin Arabi, Tarjuman al-Asywaq, Dar al-Shadar, hal. 43).

Bagaimana otak bekerja?

Aku memvisualisasikan otakku begini; beribu, atau berjuta bola yang berisi gumpalan informasi, berputar-putar dalam lintasan yang acak. Setiap bola terdiri dari elemen deskriptif dari sebuah objek. Mereka saling menempel dengan titik singgung semantik. 

Misalnya, ketika sebuah kata "TV" dijadikan kata kunci, maka kumpulan bola akan muncul, berisi informasi tentang berbagai macam bentuk fisik sebuah TV; CRT, Projection TV, LCD, plasma; bagaimana cara kerja masing-masing jenis TV tersebut; perkembangan teknologi TV, dari hanya tabung cahaya sederhana sampai kristal cair; lalu TV apa saja yang sudah pernah aku punya, dari jaman TK sampai yang sekarang aku pakai; acara-acara yang ada di TV: film, infotainment, sampai sinetron hidayah; dan segala macam deskripsi yang menyertainya.

Ketika sampai pada kata "film", maka itu adalah sebagai titik singgung antara "TV" dengan bola informasi lain yang berisi tentang deskripsi dari "film", ada jenis-jenis film: action, horor indonesia, psikologis, thriller, bla bla; lalu temenku yang ternyata profesinya sutradara; cecep, agra, juki; etc.

Nah, di otakku sangat minim parameter timeline. Sebuah gumpalan informasi jarang diikuti kapan itu terjadi, bagaimana urutan peristiwa demi peristiwanya. Sehingga aku tidak bisa menceritakan sesuatu secara naratif. Dan itu berkebalikan dengan otak shari, istriku.

Otak shari, kalau divisualisasikan adalah seperti gulungan pita seluloid, yang bertambah panjangnya dari waktu ke waktu. Ketika misalnya dia membuka memori tentang Dog's Tail, sebuah toko pernak-pernik anjing di Legian yang kami kunjungi selama liburan kami kemarin, maka gulungan yang terbuka adalah berupa photographic memory lengkap dengan timestamp per frame. Dia akan bisa menceritakan secara naratif dan deskriptif perjalanan kami menuju toko itu, jalan apa saja yang kami lewati, toko-toko apa yang ada di sebelah kiri dan kanannya, bahkan susunan barang yang dijual, secara detil. Very amazing to me.

Thursday, May 31, 2007

Pemurtadan Massal?

Shari wrote:

Membaca email pagi ini, sangat membuatku terkejut... Aku tidak menyangka, acara Jogja Festival 2007 mendapat kecaman dari banyak pihak. Mengingatkanku pada acara Rave Party DJ Tiesto beberapa saat yang lalu, yang juga batal diselenggarakan yang katanya karena tidak keluarnya ijin dan banyak pihak menganggap acara DJ Tiesto tersebut berkedok macam-macam lah, budaya barat lah, acara maksiat lah, dan sebagainya. Sekedar berbagi cerita, beberapa temanku adalah mereka yang terlibat pada persiapan acara DJ Tiesto tersebut. Aku melihat sendiri bahwa mereka bekerja siang dan malam, terlebih pada saat pemasangan stage/panggung. Dan di hari acara tersebut di'bredel', mereka harus dengan segera membersihkan dan membereskan area [Pantai Parangtritis], dan itu tidak mudah - cepat dilakukan. Terbayang betapa sia-sianya mereka bekerja siang-malam memasang dan 'ngeset' macam macam di sana, dan pada akhirnya orang-orang yang sudah berada di lokasi dibubarkan begitu saja.

Kembali ke 'keterjutan'ku.. Acara Jogja Festival 2007 dianggap sebagai usaha orang-orang Kristen dalam rangka memurtadkan orang-orang non Kristen dengan cara penyembuhan [yg kata mereka bersifat sementara]. Baru saja, aku mendapat selebaran yang berbunyi:
"WASPADA !!!! GEMPA AQIDAH MELANDA JOGJA...
Tolak PEMURTADAN Berkedok PENGOBATAN... "Jogja Festival 2007".
Jangan Gadaikan AQIDAH, Tukarkan AGAMA, hanya karena kesembuhan sesaat..... "
Sepengetahuan saya.. Dalam agama Kristen, memeluk agama Kristen maupun meyakini adanya Jesus, bukanlah suatu paksaan, bukan suatu desakan dalam sebuah ancaman. Meyakini Kristen harus datang dari hati masing-masing, bukan dari ancaman orang lain.
Saya pribadi tidak melihat acara ini sebagai sebuah acara yang membahayakan... Mengapa semua harus ditakutkan... Apakah karena orang-orang penyelenggara acara ini adalah 'kebetulan' orang Kristen, maka acara ini begitu ditakuti.
Beberapa ormas di Jogja menganggap acara ini sebagai program Kristenisasi/pemurtadan massal... Salah satu alasannya 'hanya' karena tidak ada tulisan 'khusus bagi yang beragama Kristen', maupun tidak ada tulisan 'untuk kalangan sendiri'; karena memang acara tersebut terbuka bagi siapa saja, apapun bangsa, suku, agama dan rasnya. Memang acara ini mengundang semua pihak, karena penyelenggara ingin berbagi dengan sesama, baik berbagi kebahagiaan, kesempatan, maupun berbagi kasih. Akan sulit jadinya, bila 'berbagi' ini [selalu, sering] dianggap sebagai usaha Kristenisasi/pemurtadan massal... Sedih sekali merasakan yang seperti ini..

- Apakah seorang dokter Kristen yang memeriksa pasien yang berbeda agama juga dikategorikan sebagai Kristenisasi..
- Apakah bidan dan suster di klinik maupun rumah sakit Panti Rapih dan Bethesda yang kebetulan merawat orang non - Kristen juga akan dianggap sebagai Kristenisasi..
- Apakah seorang Kristen yang menikahi non-Kristen juga termasuk dianggap dalam misi Kristenisasi..
- Apakah ketika dua orang sahabat Kristen - non Kristen, maka yang satu juga dianggap sebagai orang bermisi Kristenisasi..
- Apakah ketika seorang Kristen memberi sedekah kepada Fakir Miskin yg non-Kristen, juga dianggap Kristenisasi..
- Apakah ketika seorang Kristen memberi kado/hadiah untuk keponakannya yg kebetulan non - Kristen juga dianggap Kristenisasi..
- Apakah ketika masa Natal, seorang Kristen mengundang tetangganya untuk mencicipi kue Natalnya juga dianggap Kristenisasi..
- Apakah kalau seseorang non-Kristen memang tertarik datang di acara Jogja Festival 2007 juga dianggap sebagai produk suksesnya sebuah proses Kristenisasi..
- Apakah jika seorang Kristen menyanyikan lagu-lagu rohani Islam juga nantinya akan dianggap berusaha memurtadkan orang-orang Islam....
- Apakah orang non - Kristen yang memang atas kehendaknya sendiri pergi ke gereja untuk menghadiri pernikahan sahabat sejatinya juga akan dianggap sebagai kesuksesan si pengantin Kristen dalam memurtadkan sahabatnya yang non- Kristen tersebut...

Kasih itu indah...



Sesaat tadi pagi, aku tertegun, sedih...
Akan selalu kuingat, segala sesuatunya... akan indah pada waktunya...
Teringat ketika aku di Bali beberapa saat yang lalu, menghadiri UNDANGAN pernikahan sahabatku.. sahabat sejatiku..
Tak ada rasa benci.. ketika mengikuti proses keagamaan pernikahan mereka..
Tak ada rasa dengki.. ketika aku diajak turut serta dalam upacaranya...
Tak ada ketakutan, mereka akan meng-Hindhukan aku..
Yang ada rasa damai, rasa nyaman, rasa bahagia..
Melihat sahabatku menikah...
Mereka menjamuku dengan sangat baik, mereka sangat menghormati aku, meskipun aku bukan 'seperti mereka'...
Aku diberi tempat yang layak, makanan yang lezat, dan kehangatan suasana.. tanpa ada perasaan takut dariku bahwa semua yang kudapatkan selama di Bali itu.. harus aku 'bayar' dengan keyakinanku..
Tak ada muka angkara mereka.. ketika mereka tahu aku bukan 'mereka'..
dan tak harus aku seperti mereka.. untuk mendapatkan kenyamanan berada di Bali..
Sungguh keindahan yang luar biasa.. dua budaya yang bersatu, dua keyakinan yang tanpa dengki.. ketakjubanku menyaksikan mereka beribadah... hati terasa damai, walau tak kudengar alunan lagu keyakinanku.. namun... alunan doa mereka tetap menyejukkan hati.. karna ku tahu, Tuhan itu satu..
Seorang pendeta Hindhu menghampiriku.. hanya satu yang Ia tanyakan, aku sedang datang bulan atau tidak... menyusul gelengan kepalaku.. ia memberkatiku dan mendoakanku dengan keyakinannya yang berbeda denganku.. Rasa sejuk dan nyaman yang ada.. Tak ada takutku akan apa yang harus kubayar, tak ada khawatirku akan keyakinan yang harus kutukar... Karnaku yakin dan percaya... Ia tulus mendoakanku dan meminta padaNya keselamatan, untukku.. dan memang seperti itulah adanya... ketulusan dan cinta kasih mereka yang membuat mereka menyayangiku, berbagi makanan denganku, mendoakanku dengan segala perbedaan yang ada..
Mengingat itu semua, berat hati aku pulang ke Jawa..
masih dengan keyakinan yang sama..
masih dengan 'balutan busana' yang sama ketika aku berangkat ke Bali..
namun... dengan berjuta cerita, kesan indah dan kasih sayang yang mereka bawakan untukku..

Menikah juga akhirnya..

Shari and Andy wrote:

Assalamu alaikum,

Atau shalom aleichem, menurut orang-orang timur tengah dalam bahasa yang lebih tua, bahasa ibrani. Atau cukup kita terjemahkan saja dengan salam sejahtera bagimu dalam bahasa Indonesia.

Perkenankan kami, Marianne Suksmasari dan Fajar Handika Purbandhani, mengumumkan bahwa kami telah menikah pada tanggal 19 Agustus 2006 di Indonesia.

Kami telah mengenal satu sama lain dari tahun 1996 di sebuah Sekolah Menengah Negeri di Yogyakarta, walau kedekatan kami baru dimulai sejak tahun kemarin setelah pertemuan kami kembali pada bulan September tahun lalu. Berbagai macam hal membuat kami dekat, salah satunya adalah kesamaan pandangan universal kami terhadap bangsa dan agama.

Perjalanan menuju pernikahan kami cukup berbelit dan merupakan emotional challenge bagi kami, bukan karena perbedaan agama kami, tapi karena beberapa orang di birokrasi lokal seakan menyulitkan niat kami untuk menikah dengan perbedaan cara kami untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Sempat kami dipaksa untuk 'mengalah salah satu' atau dengan kata lain menyuruh salah satu diantara kami untuk berpindah agama demi melegalkan secara hukum niatan kami untuk menikah. Pilihan menikah di negara lain pun kami tolak, karena kami lahir di Indonesia, tinggal di Indonesia, dan kami cinta negara kami ini.

Kami sadar, bahwa perjalanan sejarah agama kami sangat panjang, getir, serta sangat berliku. Diwarnai oleh berbagai perang, dan penuh syak wasangka, serta stigma-stigma negatif yang masih sangat kental menyertai. Bahkan terkadang pada kalangan tertentu, interpretasi yang berbeda pada kitab suci milik satu diantara disebut telah melarang pernikahan kami ini. Kami maklum, sejarah kami memang pahit, dan telah membuahkan berbagai macam pandangan yang kadang sudah sangat mengakar dalam.

Bagi kami, agama adalah suatu hal yang sangat personal, dan merupakan relasi vertikal kami terhadap Tuhan kami yang satu, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Tuhan semua umat manusia. Dan agama merupakan hak dimana negara ataupun individu yang tergabung didalamnya tidak mempunyai hak untuk menyuruh kami berganti agama ketika kami akan menikah.

Banyak pihak yang kemudian mengetahui masalah kami dan kemudian membantu kami dengan tulus ikhlas, sehingga berbagai masalah birokrasi akhirnya berhasil diselesaikan secara legal tanpa kami harus berpindah agama, tanpa harus mencantumkan agama yang bukan agama kami di KTP kami.

Kami sungguh bersyukur. Alhamdulillah. Atau Halelu Yah dalam bahasa ibrani. Atau cukup kita terjemahkan saja dengan terimakasih Tuhan dalam bahasa Indonesia.

Rangkaian prosesi pernikahan kami dilakukan pukul 7.20, yang dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran, dilanjutkan ijab qobul yang dipimpin oleh penghulu. Berikutnya adalah pencatatan sipil, bukan KUA (agak lucu juga di negeri kita ini, KUA yang kepanjangan dari Kantor Urusan Agama hanya melayani masyarakat dari satu agama saja), dan dilanjutkan oleh pemberkatan nikah yang dipimpin oleh pendeta. Akad nikah ditutup oleh doa bersama lintas iman dan selesai pada pukul 10:00.

Akhir kata, kami ingin mengucapkan kepada semua pihak yang telah membantu kami menyelenggarakan pernikahan kami ini, para panitia, keluarga kami baik dekat maupun jauh yang telah hadir, Bapak ustadz dan Bapak pendeta, petugas pencatatan sipil, teman-teman kami, para birokrat yang berpandangan universal di negeri kita tercinta ini. Karena ini adalah artikel publik, dan mungkin ada beberapa kalangan yang tidak setuju, maka sepertinya tidak perlu kami sebut satu persatu walau dalam hati kami ingin sekali.

Wassalam. Shalom. Salam Sejahtera.

Andy & Sari.



******************************************



Assalamu alaikum,

Or shalom aleichem according to mid eastern in older language, hebrew. Or we can just say peace be upon you in english.

Allow us, Marianne Suksmasari and Fajar Handika Purbandhani, to announce that we have got married on August 19th, 2006 in Indonesia.

We have known each other since 1996 in a High School in Yogyakarta, though our serious relationship just began since last year after we met each other again on September. Many things made us close, one of them is our universal perspective upon nation and religion.

The journey to our wedding was quite difficult and became an emotional challenge for us, not because our religion difference, but because some local bureaucrats seemed made us difficult to continue our plan on getting married because our different way to communicate with God. They even said that one of us has to 'accommodate' by converting to make us have the same religion. We also rejected an option to get married in other country, because we were born in Indonesia, live in Indonesia, and we love this country.

We are aware, that the history of our religions is very long, and full of pain. Colored by wars, suspicions, and negative stigmas upon the journey. Sometimes, in certain community, different interpretation in the Holy Scriptures which belong to one of us said that our marriage is forbidden. We do understand, that our history is bitter, and has grown different views and perception and sometimes against each other between them.

Religion for us is a very personal matter, a vertical relation between us and our one God, our Most Merciful and Most Gracious, God for all mankind. Religion is a human right, where government or individual has no right to tell us to convert to other religion in order to get married.

Many parties then found out our problems and helps were coming from everywhere, and bureaucratic problem was finally solved legally without making us convert, without noting religion which is not ours in our Citizen ID (KTP).

We are so grateful. Alhamdulillah. Or Halelu Yah in hebrew. Or we can just say thanks God in english.

Our wedding ceremony held at 7:20 am, started with Holy Quran verses reading, continued with ijab qobul led by a penghulu. Next is civil registration, not a registration by Department of Religion (funny, in Indonesia, Department of Religion -- KUA is only serving people from only one religion), then marriage blessing led by a reverend. The ceremony was closed with an interfaith pray, and finished at 10:00 am.

In the end of this article, we wish to thank to every parties involved in our wedding and made the ceremony held successfully, all the committees, our close and far relatives, Ustadz and Priest, civil registration officer, our friends, and bureaucrats who have universal views in our beloved country. Because this is a public article, and there might be certain people disagree with our marriage, we seems cannot mention their names one by one, even though deep down inside our heart we want to.

Wassalam. Shalom. Peace be upon you.

Andy & Sari.